Salah satu rumah di wilayah adat Ammatoa Kajang dalam |
Kalau di Banten ada Suku Baduy, yang masih bertahan menjalankan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya, maka di Bulukumba, Sulawesi Selatan ada Suku Ammatoa Kajang yang ngak kalah kuat dalam menjalankan hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya. Hukum adat yang kadang ngak masuk akal bagi kita, masyarkat yang sudah modern. Suku Ammatoa Kajang bermukim di kecamatan Kajang, 20 km dari Ibukota Bulukumba atau 400 km dari Makassar. Jarak itu Kurang lebih saja. Hanya perkiraan saya saja.
Karena urusan pekerjaan, saya perrgi ke wilayah adat suku Ammatoa Kajang di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Saya tidak akan bercerita tentang pekerjaan saya ke sana untuk membantu Suku Ammatoa Kajang memperoleh haknya atas hutan adat yang telah mereka jaga berpuluh generasi. Mungkin malah sudah beratus generasi. Saya ingin menceritakan keunikan suku Ammatoa Kajang yang benar-benar masih kukuh menjalankan adat leluhur sampai sekarang.
Memasuki wilayah Kajang dalam, ngak boleh pakai mobil, ngak boleh pakai alas kaki dan harus pakai pakaian serba hitam.
Beda dengan masuk ke wilayah kajang luar, untuk masuk ke wilayah Kajang dalam, ada satu ketentuan adat, harus telanjang kaki. Aturan adat ini berlaku untuk semua orang, baik tamu maupun orang adat sendiri. Kalau dipikir dengan akal sehat, memang ngak masuk akal kalau tamu yang berkunjung ke wilayah adat harus telanjang kaki. Tapi ini adat, unik kan ? Apapun harus kita taati selaku tamu. Saya pun demikian. Demi menemui ketua suku yang mereka sebut AMMATOA, dan demi melihat hutan adatnya, saya harus jalan kaki tanpa sapatu, tanpa sendal, tanpa kaos kaki. Benar-benar telanjang kaki. Kalau dekat dan jalan bagus ngak apa-apa. Tapi ini jalannya tanah dan berbatu. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 2 km. Kebayang ngak, jalan kaki sejauh 2 km di jalan setapak berbatu tanpa alas kaki. Sakit juga. Cobain kalau ngak percaya...hehe. Satu lagi, ketentuan adat masuk wilayah Kajang dalam, kita juga harus berpakaian serba hitam. Jangan tanya kenapa, ini adat juga. Sudah seperti itu ketentuannya. Kita tinggal taatin saja kalau mau selamat.
|
Aura mistik terasa banget pas masuk wilayah adat Ammatoa Kajang dalam |
Ngak tahu kenapa ya, ketika saya masuk ke wilayah adat Ammatoa Kajang dalam, aura mistiknya terasa banget. Padahal pemandangan wilayah adat Kajang dalam dan wilayah Kajang luar, ngak ada bedanya. Sama saja. Tapi pas masuk wilayah Kajang dalam, saya merasa ada perasaan lain. Seperti masuk ke alam lain. ya..agak menyeramkan gitu lah. Sepanjang jalan setapak yang dilalui dari pintu masuk wilayah adat Kajang dalam ke rumah Ketua Suku, pemandangan hanya kebun-kebun berpagar tumpukan batu, rumah-rumah panggung tinggi dari kayu, dan komplek kuburan dengan batu-batu nisan yang besar-besar. Yang saya heran, di Kajang dalam ini, saya lihat lebih banyak komplek kuburannya dari komplek pemukimannya. Mungkin kuburan itu dijaga ratusan tahun dari generasi ke generasi. Oh ya, di wilayah adat Ammatoa Kajang ini, hewan peliharaan yang umum adalah Kuda. Saya ngak lihat hewan peliharaan kerbau dan sapi.
Kebanyakan orang adat Ammatoa Kajang beternak dan memelihara kuda. |
Komplek pekuburan di Kajang dalam. Bukan hanya satu komplek, banyak bener komplek pekuburan seperti ini. |
Ada yang saya kagumi dengan Suku Ammatoa Kajang ini ketika sampai di rumah Ketua Suku (Ammatoa). Rumah kepala suku tidak lebih besar dari rumah warga adat kebanyakan. Malah cenderung lebih sederhana. Walaupun memang semua rumah di wilayah Ammatoa Kajang Dalam memang serba sederhana. Rumah mereka ngak boleh pakai semen, ngak boleh ditembok. Rumahnya harus dari kayu. Perlengkapan di dalam rumah juga harus tradisional dan tidak boleh menggunakan barang modern. Ngak ada motor apalagi mobil, ngak ada TV, ngak ada meja kursi, lemari, gelas, piring, kompor, ngak ada semua. Listrik juga ngak ada. Waktu itu, saya diberi minum kopi pun hanya pakai bempurung kelapa. Ngak ada yang saya foto di dalam dan di sekitar rumah Kepala Suku (Ammatoa). Semua pengunjung dilarang ambil foto di situ. Lagi-lagi ini aturan adat. Kita taatin saja. ya kalau mau selamat..hehe.
Meninggalkan wilayah Kajang dalam, kembali ke Kajang Luar |
Bertamu ke salah satu rumah di Kajang luar. |
Banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dari suku Ammatoa Kajang, salah satunya kesederhanaan hidup mereka. Melihat kondisi rumah dan pemukimannya, Kita mungkin menganggap mereka miskin dan ngak sejahtera. Padahal sebenarnya mereka ngak miskin dan mereka justru sangat sejahtera. Mereka ngak pernah susah ketika di luar sana harga bensin naik, mereka ngak susah harga beras dan barang-barang lain naik di luar sana. Beras mereka punya sendiri, pakaian mereka punya sendiri. Mereka juga ngak perlu pusing cari uang yang banyak untuk hidup. Untuk apa uang kalau tidak banyak keperluan yang mereka harus beli dengan uang. Menurut cerita Gallang Malelleng, salah satu pemangku adat Suku Ammatoa Kajang. Kalau mereka punya uang hasil jual beras yang berlebih panennya atau hasil jual produk pertanian lainnya, uang itu mereka tabung di celengan bambu. Dan bertahun-tahun uang itu ngak dipakai. Sampai ketika bambu itu lapuk dan dibelah, Uang itu sudah kadaluarsa, Uang itu banyak yang sudah ngak dipakai lagi, saking lamanya disimpan.
Terima kasih suku Ammatoa Kajang telah memberikan saya pelajaran hidup yang sangat berharga. Arti sejahtera dalam kesederhanaan.
pertama
ReplyDeleteTahniah..hehe.
Deletesungguh asli dan menarik
ReplyDeletemereka memang asli dan menarik cara hidupnya, Pak Lim.
Deleteada masa saya lawat lagi...
ReplyDeleteterima kasih Pak Lim.
DeleteMenakutkan tmpt ni... esp nila tngk pokok2 tu dn gmbr area kubur2 tu... klau dtg waktu mlm harus gigil ni... haha
ReplyDelete*bila
Deletesiang-siangpun saya rasa masih menakutkan Kak Fari..apalagi malam ya.
DeleteMenakutkan tmpt ni... esp nila tngk pokok2 tu dn gmbr area kubur2 tu... klau dtg waktu mlm harus gigil ni... haha
ReplyDeleteWah banyaknya pantang larang... sanggup mereka tinggal dalam keadaan seperti itu semata-mata mempertahankan adat...
ReplyDeleteApa pegangan agamanya ya mas Gunadi...
mereka mengakui sebagai pemeluk islam tetapi khusus suku kajang dalam, praktek ibadah islamnya agak beda, Pak Mie. Kalau suku kajang luar yang sudah agak modern, islamnya sama seperti islam kebanyakan.
DeleteSebuah aturan/norma yang harus diikuti, dan sangat menyenangkan jika kita terlibat langsung. Pengalaman yang menyenangkan, mas.
ReplyDeletepengalaman berharga mas Rullah. kita yg katanya sudah modern memang perlu banyak belajar arti kesejahteraan hidup dari masyarakat adat seperti itu.
ReplyDeleteBelum pernah ke Kajang sih. Tapi denger cerita, ini semacam Baduinya Sulawesi. Aku juga pernah sih nyimpen duit, sampe duit itu udah ditarik dari peredaran aka gak laku lagi. Eh, maksud hati memang buat dikoleksi, begitu aku kuliah ke jakarta, duit tadi dimasukin tabungan di bank sama ayahku. Duh :'(
ReplyDeleteya kajang memang mirip baduy.
Deletexixi...curcol mas Adie..
Kajang tu kok sama namanya yg ada di Malaysia.
ReplyDeletekita memang serumpun Kak Yan. banyak budaya, tempat dan makanan yang sama.
DeleteIngat kajang malaysia. Ada nama tempat itu di sini.
ReplyDeleteSelamat malam, mas mau tanya, kl dari tanjung bisa berapa jam lagi kl menuju ke situ ??
ReplyDeleteSatu jam sampai kurang lebih
Delete